Upaya sebagian politikus untuk memaksakan keterwakilan perempuan di parliment dengan mengusulkan Zipper System atau dengan membagi masa jabatan anggota dewan (bila sudah menjabat 2,5 tahun, lalu pergantian antar waktu dengan caleg perempuan untuk sisa masa jabatannya) menunjukan inkonsistensi dan ketidakmatangan para politikus kita terhadap alam demokrasi di Indonesia serta haus akan kekuasaan. Pada hakikatnya demokrasi adalah kebebasan, kebebasan untuk memilih-dipilih dan kebebasan untuk tidak memilih-dipilih. Apabila rakyat dipaksa untuk memilih berarti rakyat juga memaksa untuk dipilih. Dan ini berarti tidak ada demokrasi akan tetapi dapat dikatakan “pemaksaan” kehendak.
Kesetaraan gender yang didengungkan bukanlah ditunjukan dengan kesetaraan jumlah perempuan dan laki-laki didalam parliament/kabinet. Tetapi kesamaan hak dan perlakukan oleh seluruh rakyat Indonesia kepada kaum perempuan, termasuk kesamaan untuk memilih-dipilih dan tidak memilih-dipilih. Bila mana perempuan eksis di berbagai situasi dan tempat itu menandakan kepercayaan masyarakat terhadap mereka, namun ada kalanya perempuan tidak mendapat kepercayaan dari masyarakat dan mereka harus berjuang untuk mendapatkan kepercayaan itu.
Parliament bukan semata-mata “tempat” bagi para politikus, tetapi merupakan suatu lembaga yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup negara ini dan kesejahteraan rakyatnya. Saat ini rakyat dipertontonkan dengan sandiwara-sandiwara politik yang skenarionya hampir sama dengan acara parodi-parodi politik ditelevisi.
Saya rasa para perempuan di Indonesia akan merasa malu bilamana eksistensi kaum mereka di ranah politik merupakan suatu pemberian dari suatu permintaan paksa. Dan sebaliknya perempuan merasa bangga dan dihargai bila keberadaan mereka benar-benar dari hasil suatu perjuangan tanpa lelah.
Salam Indonesia!!!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar